Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Sunday, October 31, 2010

Ledakan Sinar Gamma Terbesar


Teleskop antariksa sinar Gamma Fermi (Fermi Gamma-ray Space Telescope) baru-baru ini telah mendeteksi ledakan sinar gamma pertama dalam resolusi tinggi. Ledakan tersebut memiliki total energi terbesar, pergerakan tercepat, dan pelepasan energi tertinggi yang pernah terlihat. Ledakan yang dirujuk sebagai GRB 080916C tersebut, terjadi pada pukul 19:13 EDT (15:13 GMT/22:13 WIB) tanggal 14 September 2008 di konstelasi Carina.
Perangkat Large Area Telescope beserta Gamma Ray Burst Monitor pada teleskop Fermi secara simultan merekam peristiwa tersebut. Kedua instrumen tersebut menyediakan pandangan dari tahap awal ledakan, dikenal sebagai “prompt”, berupa pancaran sinar gamma dengan energi antara 3.000 hingga lebih dari 5 milyar kali dari yang dipancarkan dalam gelombang cahaya kasatmata.
Ledakan sinar gamma sendiri merupakan ledakan yang paling cemerlang di alam semesta. Para astronom meyakini bahwa kebanyakan ledakan semacam ini terjadi apabila sebuah bintang masif yang eksotik kehabisan bahan bakar nuklirnya. Saat inti bintang runtuh dalam bentuk lubang hitam, semburan material – yang disulut oleh proses yang belum sepenuhnya diketahui – terlepas ke antariksa dengan kelajuan mendekati kecepatan cahaya. Semburan tersebut memancar dari bintang yang sedang runtuh, dan berinteraksi dengan gas yang sebelumnya mengalir dari bintang dan menghasilkan kilatan cahaya terang yang kemudian perlahan memudar seiring berlalunya waktu.
Hampir 32 jam setelah ledakan, Jochen Greiner dari Max Planck Institute for Extraterrestrial Physics di Garching, Jerman, memimpin sekelompok ilmuwan untuk mencari pendar cahaya sisa ledakan. Kelompok tersebut mengambil citra dalam tujuh panjang gelombang secara simultan menggunakan perangkat Gamma-Ray Burst Optical/Near-Infrared Detector (GROND) yang terpasang pada teleskop 2,2 meter di European Southern Observatory di La Silla, Chile.
Dalam warna-warni tertentu, kecerlangan dari objek jauh menunjukkan karakteristik memudar secara cepat (drop-off) yang diakibatkan oleh keberadaan kabut gas. Makin jauh suatu objek, panjang gelombang cahaya yang memudar tersebut makin bergeser ke warna merah. Hal ini memberikan petunjuk kepada para astronom untuk memperkirakan jarak objek tersebut. Observasi lanjutan akhirnya menunjukkan bahwa ledakan tersebut terjadi pada suatu tempat bejarak 12,2 miliar tahun cahaya dari Bumi.
Dengan berpatokan pada jarak itu, tim Fermi menunjukkan bahwa besarnya ledakan tersebut melampaui sekitar 9.000 kali besar ledakan supernova biasa, apabila energinya dipancarkan sama rata ke segala arah. Ini adalah cara standar bagi para astronom untuk membandingkan skala suatu peristiwa astronomis, walaupun kenyataannya ledakan sinar gamma memancarkan sebagian besar energinya dalam semburan yang sempit. Bersama dengan pengukuran dengan teleskop Fermi, besaran jarak ini juga membantu para astronom untuk menentukan kecepatan terendah yang mungkin untuk pelepasan material pada “prompt” sinar gamma. Dalam semburan ledakan tersebut, gas mestilah terlontar pada kecepatan 99.9999 persen dari kecepatan cahaya. Besarnya kekuatan dan kecepatan ledakan ini adalah yang paling ekstrim yang pernah tercatat hingga kini.
Salah satu aspek yang menarik dari ledakan ini ialah adanya selang waktu (delay) selama 5 detik antara pelepasan energi tertinggi dengan yang terendah. Hal semacam ini juga pernah teramati secara jelas dalam satu ledakan lainnya. Seperti dijelaskan oleh Peter Michelson, peneliti utama (principal investigator) pada Fermi Large Area Telescope, hal ini mungkin berarti bahwa pancaran energi tertinggi berasal dari bagian semburan yang berbeda, atau tercipta melalui mekanisme yang berbeda.
Makalah yang memuat hasil pengamatan ini telah diterbitkan pada 19 Februari 2009 melalui edisi online dari jurnal ilmiah Nature. (www.nasa.gov)

Menyingkap Rahasia Atmosfer Pluto


Pluto, yang yang berukuran sekitar seperlima ukuran Bumi, sebagian besarnya tersusun atas batuan dan es. Terletak sejauh 40 kali rata-rata jarak Bumi ke Matahari, Pluto adalah dunia yang sangat dingin dengan suhu permukaan mencapai -220 derajat Celcius.

Sejak dekade 1980-an telah diketahui bahwa Pluto memiliki atmosfer yang tipis yang didominasi oleh nitrogen dengan jejak metana dan kemungkinan karbon dioksida. Tekanan atmosfernya hanya sekitar seperseratus ribu tekanan atmosfer Bumi, atau sekitar 0.015 milibar.

Sampai baru-baru ini, hanya lapisan atas dari Atmosfer Pluto yang dapat dipelajari. Dengan mengamati okultasi bintang (ESO 21/22), fenomena yang terjadi apabila suatu anggota tata surya menghalangi cahaya sebuah bintang di latar belakang, para astronom berhasil menunjukkan bahwa lapisan atas dari atmosfer dari Pluto adalah berkisar -170 derajat Celcius, atau sekitar 50 derajat lebih hangat daripada suhu di permukaannya. Observasi ini dapat memberikan petunjuk mengenai temperatur dan tekanan atmosferik di dekat permukaan Pluto.

Namun uniknya, observasi terkini menggunakan perangkat CRyogenic InfraRed Echelle Spectrograph (CRIRES) yang terpasang pada Very Large Telescope milik European Space Observatory (ESO) kini telah mengungkapkan bahwa atmosfer Pluto secara keseluruhan, bukan hanya di lapisan atasnya, memiliki suhu rata-rata sekitar -180 derajat Celcius, dan dengan demikian “jauh lebih panas” daripada suhu permukaannya.

Berkebalikan dengan atmosfer Bumi, di Pluto temperatur justeru meningkat seiring bertambahnya ketinggian. Perubahan suhunya berkisar 3 hingga 15 derajat per kilometer. Di Bumi, dalam kondisi normal, temperatur berkurang sekitar 6 derajat setiap kilometer ketinggian.

Alasan mengapa permukaan Pluto sedemikian dingin berhubungan dengan eksistensi atmosfer Pluto, yakni karena terjadinya sublimasi es di permukaan; analog dengan keringat yang mendinginkan tubuh saat menguap dari permukaan kulit kita, sublimasi ini memiliki efek pendinginan pada permukaan Pluto. Dari segi ini, Pluto memiliki sifat yang sama dengan komet, dimana bagian coma dan ekornya juga terbentuk dari es yang menyublim saat komet mendekati Matahari.

Observasi menggunakan CRIRES juga mengindikasikan bahwa metana adalah gas paling berlimpah nomor dua di atmosfer Pluto, merepresentasikan setengah persen dari molekul-molekul yang ada. “Kami berhasil menunjukkan bahwa jumlah sebesar itu memainkan peranan penting dalam proses pemanasan di atmosfer dan dapat menjelaskan peningkatan suhu atmosferik,” jelas Emmanuel Lellouch, penulis utama makalah yang melaporkan penemuan ini.

“Menarik untuk dipikirkan bahwa dengan CRIRES kami dapat mengukur secara presisi jejak suatu gas dalam atmosfer 100.000 kali lebih tipis daripada di Bumi, pada objek yang lima kali lebih kecil dari planet kita dan terletak di tepi tata surya,” ungkap co-author, Hans-Ulrich Käufl. “Kombinasi CRIRES dan VLT adalah seperti memiliki satelit penelitian atmosfer yang mengorbit Pluto.”

Dua model yang berbeda dapat menjelaskan properti atmosfer Pluto. Dalam model pertama, para astronom mengasumsikan bahwa permukaan Pluto dilingkupi oleh lapisan tipis metana, yang menempati sublimasi bekuan nitrogen. Skenario kedua melibatkan keberadaan metana murni di permukaan Pluto.

Menentukan mana yang paling tepat diantara keduanya akan membutuhkan studi yang lebih intensif saat Pluto bergerak menjauh dari Matahari. “Dan tentu saja, wahana antariksa New Horizon milik NASA akan menyediakan lebih banyak petunjuk saat mencapai planet kerdil itu pada 2015 nanti,” tukas Lellouch.

Penemuan ini telah dilaporkan dalam jurnal Astronomy and Astrophysics pada Februari lalu dalam makalah berjudul Pluto’s lower atmosphere structure and methane abundance from high-resolution spectroscopy and stellar occultations oleh E. Lellouch et al. (www.eso.org)

Cakram Debu di 51 Ophiuchi

Menggunakan teleskop kembar berdiameter 10 meter di Observatorium W.M. Keck, Hawaii, para astronom telah menemukan salah satu dari cakram debu paling kompak yang mengedari sebuah bintang. Apabila berada di dalam tata surya kita, maka cakram itu akan membentang sekitar empat kali jarak Bumi ke Matahari, hingga mendekati orbit planet Jupiter. Cakram bagian dalam yang kompak tersebut juga ditemani oleh cakram luar yang terentang hingga ratusan kali lebih jauh.

Kunci keberhasilan studi ini adalah Keck Interferometer Nuller (KIN), suatu perangkat yang mengkombinasikan cahaya yang tertangkap oleh masing-masing teleskop raksasa tersebut, sedemikian rupa sehingga memungkinkan para peneliti mempelajari objek redup yang biasanya tenggelam oleh cemerlangnya cahaya bintang di dekatnya. “Ini adalah cakram kompak pertama yang dideteksi oleh KIN, dan menunjukkan kemampuannya untuk mendeteksi kabut debu yang ratusan kali lebih kecil daripada yang bisa dilihat oleh teleskop konvensional,” jelas Christopher Stark, astronom di Goddard Space Flight Center, NASA, di Greenbelt, Madison, yang memimpin tim peneliti.

Dengan menggabungkan pancaran cahaya yang diterima oleh kedua teleskop dengan cara tertentu, KIN pada dasarnya membuat suatu “blind spot” yang menghalangi pancaran cahaya bintang yang tak diperlukan namun memungkinkan sinyal redup yang berdekatan – seperti cahaya dari cakram debu yang melingkupi bintang – untuk menembusnya.

Pada bulan April 2007, tim yang sama mengamati bintang target, 51 Ophiuchi, bintang tipe B yang muda dan panas sejauh 410 tahun cahya di konstelasi Ophiuchus. Para astronom menduga bahwa bintang tersebut beserta cakram yang melingkupinya merepresentasikan contoh yang langka dan dekat dari sistem planeter muda yang sedang memasuki fase terakhir dari pembentukan planet-planetnya, walaupun masih belum diketajio apakah planet-planet tersebut benar-benar telah membentuk.

“Observasi terkini kami menunjukkan bahwa 51 Ophiuchi adalah sistem protoplanet (calon planet) yang indah dengan suatu kabut debut dari komet dan asteroid yang sangat dekat dengan bintang induknya,” timpal Marc Kuchner, astronom di Goddard yang juga anggota dari tim peneliti.

Sistem planeter adalah tempat yang sangat berdebu. Kebanyakan diantara debu di tata surya kita terbentuk didalam garis orbit Jupiter, saat komet-komet mengalami kehancuran di dekat Matahari dan asteroid dalam berbagai ukuran saling berbenturan. Kabut ini merefleksikan cahaya matahari dan sewaktu-waktu dapat dilihat sebagai pendar cahaya di langit – dikenal sebagai cahaya zodiak (zodiacal light) – sebelum matahari terbit atau terbenam.

Kabut debu di sekeliling bintang lain yang terbentuk melalui proses yang sama disebut sebagai kabut “exozodiacal”. “Studi kami menunjukkan bahwa cakram di 51 Ophiuchi lebih dari 100.000 kali lebih tebal daripada kabut zodiak di tata surya kita,” jelas Stark. “Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini masih relatif muda, dengan banyak benda angkasa yang saling berbenturan yang menghasilkan sejumlah besar debu.”

Untuk menguraikan struktur dari kabut debu bintang tersebut, tim peneliti mengkombinasikan hasil observasi KIN pada berbagai panjang gelombang dengan studi sebelumnya yang memanfaatkan Teleskop Antariksa Spitzer dan perangkat Very Large Telescope Interferometer di European Southern Observatory di Chile.

Cakram bagian luar mulai membentuk pada sekitar dimana cakram bagian dalam berakhir dan mencapai jarak sekitar 1.200 AU. Penanda inframerahnya menunjukkan bahwa cakram tersebut terutama tersusun atas partikel debu dengan volume hanya 1 persen dari ukuran debu yang sama di cakram bagian dalam, atau setara dengan partikel pada asap. Perbedaan lainnya: cakram bagian luar terlihat lebih menyebar, hingga jauh keluar dari bidang orbitnya ketimbang cakram bagian dalam.

“Kami menduga bahwa cakram bagian dalam mendorong pengembangan cakram bagian luar,” jelas Kuchner. Saat asteroid dan komet saling berbenturan hingga menghasilkan debu, partikel yang lebih besar secara alami berpilin ke arah bintang. Namun tekanan dari cahaya bintang menekan partikel-partikel yang lebih kecil keluar dari sistem. Proses ini, yang juga terjadi di tata surya kita, nampaknya bekerja lebih baik di sekitar 51 Ophiuchi, bintang yang 260 kali lebih cemerlang daripada Matahari.

Penemuan ini telah dipublikasikan melalui Astrophysical Journal edisi 1 Oktober lalu. (www.nasa.gov/goddard)

Untaian Mutiara Kosmik


Teleskop antariksa Herschel baru-baru ini telah menyajikan pemandangan spektakular dari kabut gas yang terbentang di dekat bidang galaksi Bima Sakti. Citra yang diambil mengungkapkan adanya aktifitas yang intens dan tak terduga. Daerah yang gelap dan dingin dengan titik-titik tempat bintang dilahirkan ibarat untaian mutiara kosmik.
Pada 3 September lalu, Herschel diarahkan ke suatu reservoir kabut gas dingin di konstelasi Salib Selatan (Southern Cross) di dekat bidang galaksi. Saat teleskop tersebut memindai langit, perangkat Spectral and Photometric Imaging REceiver, SPIRE, dan Photoconductor Array Camera and Spectrometer, PACS mengambil sejumlah citra dari daerah yang terletak di sekitar 60° dari pusat galaksi, ribuan tahun cahaya dari bumi.
Lima panjang gelombang inframerah telah dikodekan dalam bentuk warna-warni untuk memungkinkan para ilmuwan membedakan material yang sangat dingin (merah) dengan lingkungan sekitarnya yang sedikit lebih hangat (biru).
Citra ini mengungkap struktur pada material di Galaksi kita, dalam bentuk yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Bahkan sebelum ada analisis yang lebih rinci, para ilmuwan telah mengumpulkan informasi mengenai kuantitas material, massa, temperatur, komposisi, dan apakah struktur tersebut sedang runtuh untuk membentuk bintang-bintang baru.
Bahwa area yang gelap dan dingin semacam ini ternyata penuh dengan aktifitas adalah hal yang tak terduga. Namun citra-citra itu juga mengungkapkan adanya gejolak yang mengejutkan: material antarbintang berkondensasi menjadi filamen yang memalar (continous) dan saling terhubung yang berpendar dari cahaya yang dipancarkan oleh bintang-bintang yang baru lahir pada berbagai tingkat perkembangan. Galaksi kita adalah galaksi yang secara konstan melahirkan bintang-bintang generasi baru.
Bintang-bintang terbentuk dari lingkungan yang digin dan padat, dan dalam citra-citra tersebut, mudah untuk menemukan tempat dimana terdapat filamen bintang yang tengah membentuk, suatu pekerjaan yang sangat sulit untuk dilakukan pada citra dengan panjang gelombang tunggal.
Biasanya, dalam daerah yang penuh sesak semacam ini, terletak di bidang galaksi kita dan mengandung banyak kabut molekular sejauh mata memandang, para astronom akan mengalami kesulitan untuk melihat secara lebih detail. Namun instrumen inframerah Herschel yang canggih memudahkan pekerjaan itu, melihat kedalam kabut yang suram dalam cahaya kasatmata, dan menyaksikan pendar dari debu itu sendiri. Observasi ini tidak mungkin untuk dilakukan dengan peralatan yang berbasis di darat.
Hasilnya adalah pemandangan dari struktur jejaring filamen yang menakjubkan, dan fitur-fitur yang mengindikasikan rantai peristiwa formasi bintang yang hampir simultan, gemerlap laksana rangkaian mutiara, jauh di kedalaman galaksi kita. (www.esa.int)

Tiga Sahabat Gila [part 2]

Siang itu setelah jam pelajaran usai, Dewi mampir ke kelasku ingin bertemu dengan Ewit teman akrabnya. Kebetulan aku juga belum pulang saat itu, aku menoleh padanya begitu juga dia, dan masih dengan tatapannya yang sinis. Kemudian aku beranjak dari tempatku menuju pintu. Tapi setelah itu, suaranya menghentikan langkahku. Dengan perasaan deg-degan aku menoleh dan bertanya “kenapa?”. “hmm , tidak!” jawabnya polos. Kemudian aku berbalik dan meneruskan langkahku. Dengan sedikit senyuman aku membatin “Ah, nda jelas” . -.-‘
Keesokan harinya, aku atas suruhan wali kelasku Bu Arnida, masuk ke kelasnya. Disitu kulihat dia lagi tertawa bersama teman-teman ceweknya, entah apa yang mereka tertawakan. Tetapi tiba-tiba tawanya terhenti ketika ia melihatku masuk. “Loh, ada apa?” batinku. Dengan cuek aku langsung menghampiri meja Iki dan mengatakan bahwa dia dipanggil Bu Arnida ke kelasku. Setelah itu dengan buru-buru aku langsung keluar dan masuk kembali ke kelasku. Begitulah seterusnya jika kami berdua bertemu.
Pada saat kelas 8 SMP pun, aku dan Dewi belum juga akrab. Entah apa yang membuatnya aneh melihatku. Aku pernah berniat menanyakan padanya mengapa ia bersikap begitu, tetapi aku selalu mengurungkan niatku. Hanya dengan alasan aku malu jika harus bertatapan mata dengan Dewi. Pernah juga suatu saat aku konsultasi dengan beberapa teman ceweknya, aku menanyakan beberapa hal tentang Dewi. Kata teman-temannya dia juga menyukai Harry Potter sama sepertiku. Aku senang mendengar hal itu, ternyata kami berdua memiliki hobi yang sama.
Terbesit lagi niat untuk menyapanya, ingin bertukar cerita tentang Harry Potter bersamanya. Tapi, saat itu juga semuanya hilang hanya dengan alasan yang sama. Aku malu bertatapan mata dengan dia. Hari berlalu seperti biasa tanpa ada perubahan yang terjadi padaku dan Dewi. Aku hanya berani menatapnya dari kejauhan, berharap suatu saat kami berdua bisa menjadi seorang teman baik.

Friday, October 29, 2010

Manusia Hobbit


Belum lama ini di Indonesia di temukan tulang belulang berusia 18.000 tahun milik sejenis manusia dengan tinggi badan 3 kaki di pulau Flores, Indonesia. Manusia hobbit, begitu ilmuan dan media menyebutnya. memiliki ciri ciri yang lebih kecil pada manusia pada umumnya. penemuan Manusia hobbit ini menimbulkan perselisihan diantara ilmuwa. perselisihan tersebut adalah adanya para pakar lain yang mendukung pandangan para ilmuwan Indonesia yang berkeberatan atas dikemukakannya H. floresiensis sebagai suatu spesies tersendiri yang terpisah dari Homo sapiens. Yang terkemuka dari sederetan ilmuwan tersebut adalah ilmuwan Australia Dr. Maciej Henneberg dan Dr. Alan Thorne, dan para peneliti dari Field Museum Chicago di Amerika.
Sejumlah sanggahan baru, sebagaimana yang dilontarkan oleh para ilmuwan Indonesia, menegaskan bahwa Manusia Flores mungkin telah menderita penyakit syaraf yang dikenal sebagai microcephaly (kelainan berupa kepala yang berukuran kecil). Microcephaly sekunder memiliki banyak sekali penyebab, mulai dari infeksi virus selama kehamilan hingga luka atau kekurangan gizi ketika baru lahir. Spesimen-spesimen tersebut ditemukan di sebuah gua di suatu pulau. Siapakah yang bisa mengatakan bahwa pulau itu belum pernah dilanda wabah virus 18.000 tahun lalu yang menyebabkan berjangkitnya kelainan tersebut? Atau mungkin penghuni [pulau itu] telah terkena wabah itu di tempat lain di gugusan kepulauan Indonesia, dan telah diusir ke Flores karena penampakan mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa mereka yang mengidap microcephaly sekunder dapat bertahan hidup dan bahkan beranak pinak: kelainan itu tidak selalu harus dihubungkan dengan kecerdasan yang rendah. Sebenarnya, [tingkat kecerdasan] bukan dikarenakan ukuran otak yang kecil saja: penentu terpenting adalah jumlah bagian [otak yang berwarna] abu-abu. Karena bagian ini tidak terawetkan pada sisa-sisa peninggalan fosil, kita tidak memiliki gambaran apakah para "hobbit" tersebut cerdas, bodoh atau biasa saja. Apa yang jelas adalah bahwa para palaeontolog terlalu bernafsu mendasarkan klaim besar pada bukti yang sudah dipastikan sangat kurang. Ini adalah kecenderungan kuat yang tidak begitu membantu mereka di masa lalu.

Pengkajian lain oleh Henneberg yang mengungkap hasil mengejutkan tentang Manusia Flores adalah perhitungannya tentang tulang lengan depan (radius) yang ditemukan di dalam sebuah gua. Dari panjang tulangnya, yang ditetapkan sebagai 210 mm (8,3 inci), Henneberg menghitung bahwa pemiliknya bertinggi tubuh antara 151 dan 162 cm (4,9 - 5,3 kaki). Angka ini agak lebih besar daripada 1 meter (3 kaki) yang diduga merupakan ukuran tinggi Manusia Flores, dan masih dalam batas yang dianggap normal untuk manusia zaman sekarang. Henneberg mengumumkan kesimpulan yang ia capai sebagai hasil dari penelitian ini:
"Hingga tambahan tulang-tulang lain dari 'spesies baru' dugaan ini diketemukan, saya akan tetap menyatakan bahwa suatu kondisi yang sudah sangat dikenal yang diakibatkan oleh penyakitlah yang menjadi penyebab timbulnya penampakan khusus dari rangka tersebut."

sumber : dari berbagai sumber

Jejak Manusia Modern 3,6 Juta Tahun


Jejak-jejak Laetoli berasal dari manusia masa kini, namun mereka hidup jutaan tahun silam. Nyatanya, sejumlah temuan lain merunut asal mula manusia modern hingga 1,7 juta tahun yang lalu. Salah satu dari temuan terpenting adalah jejak-jejak kaki yang ditemukan di Laetoli, Tanzania oleh Mary Leakey pada tahun 1977. Jejak-jejak kaki ini ditemukan pada lapisan yang menurut perhitungan berusia 3,6 juta tahun. Yang lebih penting lagi, jejak-jejak kaki ini tidak berbeda dari jejak kaki yang ditinggalkan manusia modern (manusia jaman sekarang). Jejak-jejak kaki yang ditemukan Mary Leakey lalu dipelajari beberapa ahli paleoantropologi seperti Don Johanson dan Tim White. Hasilnya sama. White menulis: Tidak pelak lagi ... Jejak-jejak itu serupa dengan jejak kaki manusia modern. Jika satu jejak itu ditinggalkan di pasir pantai California sekarang, dan seorang anak berusia empat tahun ditanyai tentangnya, ia akan langsung menjawab bahwa seseorang telah berjalan di sana. Ia tidak akan dapat membedakannya dengan seratus jejak kaki lain di pantai, begitu pun Anda. Setelah meneliti jejak-jejak itu, Louis Robbins dari Universitas North California mengulas demikian: Lengkungannya agak tinggi — manusia yang lebih kecil berlengkungan lebih tinggi daripada saya— dan jempol kakinya besar dan sejajar dengan telunjuk kakinya .… Jari-jari menekan tanah seperti jari-jari kaki manusia. Anda tidak akan melihat ini pada hewan. Pengujian-pengujian bentuk morfologis jejak tetap menunjukkan lagi bahwa harus diterima bahwa itu jejak-jejak manusia, lebih jauh lagi, manusia modern yang ada hari ini (Homo sapiens). Russell Tuttle yang memelajari hal ini menulis:
Seorang Homo sapiens kecil bertelanjang kaki mungkin telah membuatnya... Dari semua ciri morfologi yang teramati, kaki orang yang membuat jejak tidak berbeda dengan kaki manusia modern.Penelitian tak berpihak tentang jejak-jejak kaki itu mengungkapkan pemilik sebenarnya. Dalam kenyataan, jejak-jejak itu terdiri atas 20 jejak membatu seorang manusia modern berusia 10 tahun dan 27 jejak seorang yang lebih muda. Mereka jelas-jelas manusia modern seperti kita.
Situasi ini menjadikan jejak kaki Laetoli sebagai bahan perbincangan selama bertahun-tahun. Para pakar paleoantropologi evolusionis berupaya keras memikirkan sebuah penjelasan karena mereka sulit menerima kenyataan bahwa manusia modern telah berjalan di muka Bumi 3,6 juta tahun silam. Pada tahun 1990-an, “penjelasan” ini mulai terbentuk. Evolusionis memutuskan bahwa jejak kaki ini tentunya ditinggalkan oleh Australopithecus, sebab menurut teori mereka, mustahil spesies homo ada 3,6 juta tahun silam. Akan tetapi, dalam karangannya di tahun 1990, Russell H. Tuttle menulis: Singkatnya, jejak kaki berusia 3,5 juta tahun di situs G Laetoli mirip jejak manusia modern yang biasa bertelanjang kaki. Tidak ada ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hominid Laetoli berkemampuan bipedal yang kurang dari kita. Kalau saja jejak pada situs G ini tidak diketahui setua itu, kami akan langsung menyimpulkan bahwa jejak itu dibuat oleh anggota genus Homo ... Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan anggapan lemah bahwa jejak Laetoli dibuat oleh jenis Lucy, yaitu Australopithecus aferensis.Dengan kata lain, jejak-jejak berumur 3,6 juta tahun ini tidak mungkin milik Australopithecus. Satu-satunya alasan mengapa jejak-jejak ini dianggap berasal darinya adalah karena berada pada lapisan vulkanik berumur 3,6 juta tahun. Jejak itu dianggap milik Australopithecus dengan asumsi bahwa manusia tidak mungkin ada pada zaman setua itu.
Tafsiran-tafsiran atas jejak Laetoli menunjukkan kepada kita suatu kenyataan yang sangat penting. Evolusionis mendukung teorinya tidak dengan menimbang temuan-temuan ilmiah, malah justru mengabaikannya. Di sini kita mendapati sebuah teori yang dibela membabi-buta, dan semua temuan yang meragukan teori itu diabaikan atau dipelintir demi mendukung teori. Singkatnya, teori evolusi bukan ilmu pengetahuan, tetapi dogma yang dijaga tetap hidup dengan mengabaikan ilmu pengetahuan.

Rahang Manusia Berumur 2,3 Juta Tahun
Contoh lain yang menunjukkan ketak-sahihan silsilah yang dikarang oleh para evolusionis: rahang manusia modern (Homo sapiens) berumur 2,3 juta tahun. Rahang yang diberi kode AL 666-1 ini digali di Hadar, Ethiopia. Terbitan-terbitan evolusionis mencoba mengurangi maknanya dengan merujuknya sebagai “temuan yang sangat mengejutkan.” (D. Johanson, BlakeEdgar, From Lucy to Language, h. 169)

sumber : dari berbagai sumber

Jejak Manusia Modern 3,6 Juta Tahun

Jejak-jejak Laetoli berasal dari manusia masa kini, namun mereka hidup jutaan tahun silam. Nyatanya, sejumlah temuan lain merunut asal mula manusia modern hingga 1,7 juta tahun yang lalu. Salah satu dari temuan terpenting adalah jejak-jejak kaki yang ditemukan di Laetoli, Tanzania oleh Mary Leakey pada tahun 1977. Jejak-jejak kaki ini ditemukan pada lapisan yang menurut perhitungan berusia 3,6 juta tahun. Yang lebih penting lagi, jejak-jejak kaki ini tidak berbeda dari jejak kaki yang ditinggalkan manusia modern (manusia jaman sekarang). Jejak-jejak kaki yang ditemukan Mary Leakey lalu dipelajari beberapa ahli paleoantropologi seperti Don Johanson dan Tim White. Hasilnya sama. White menulis: Tidak pelak lagi ... Jejak-jejak itu serupa dengan jejak kaki manusia modern. Jika satu jejak itu ditinggalkan di pasir pantai California sekarang, dan seorang anak berusia empat tahun ditanyai tentangnya, ia akan langsung menjawab bahwa seseorang telah berjalan di sana. Ia tidak akan dapat membedakannya dengan seratus jejak kaki lain di pantai, begitu pun Anda. Setelah meneliti jejak-jejak itu, Louis Robbins dari Universitas North California mengulas demikian: Lengkungannya agak tinggi — manusia yang lebih kecil berlengkungan lebih tinggi daripada saya— dan jempol kakinya besar dan sejajar dengan telunjuk kakinya .… Jari-jari menekan tanah seperti jari-jari kaki manusia. Anda tidak akan melihat ini pada hewan. Pengujian-pengujian bentuk morfologis jejak tetap menunjukkan lagi bahwa harus diterima bahwa itu jejak-jejak manusia, lebih jauh lagi, manusia modern yang ada hari ini (Homo sapiens). Russell Tuttle yang memelajari hal ini menulis:
Seorang Homo sapiens kecil bertelanjang kaki mungkin telah membuatnya... Dari semua ciri morfologi yang teramati, kaki orang yang membuat jejak tidak berbeda dengan kaki manusia modern.Penelitian tak berpihak tentang jejak-jejak kaki itu mengungkapkan pemilik sebenarnya. Dalam kenyataan, jejak-jejak itu terdiri atas 20 jejak membatu seorang manusia modern berusia 10 tahun dan 27 jejak seorang yang lebih muda. Mereka jelas-jelas manusia modern seperti kita.
Situasi ini menjadikan jejak kaki Laetoli sebagai bahan perbincangan selama bertahun-tahun. Para pakar paleoantropologi evolusionis berupaya keras memikirkan sebuah penjelasan karena mereka sulit menerima kenyataan bahwa manusia modern telah berjalan di muka Bumi 3,6 juta tahun silam. Pada tahun 1990-an, “penjelasan” ini mulai terbentuk. Evolusionis memutuskan bahwa jejak kaki ini tentunya ditinggalkan oleh Australopithecus, sebab menurut teori mereka, mustahil spesies homo ada 3,6 juta tahun silam. Akan tetapi, dalam karangannya di tahun 1990, Russell H. Tuttle menulis: Singkatnya, jejak kaki berusia 3,5 juta tahun di situs G Laetoli mirip jejak manusia modern yang biasa bertelanjang kaki. Tidak ada ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hominid Laetoli berkemampuan bipedal yang kurang dari kita. Kalau saja jejak pada situs G ini tidak diketahui setua itu, kami akan langsung menyimpulkan bahwa jejak itu dibuat oleh anggota genus Homo ... Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan anggapan lemah bahwa jejak Laetoli dibuat oleh jenis Lucy, yaitu Australopithecus aferensis.Dengan kata lain, jejak-jejak berumur 3,6 juta tahun ini tidak mungkin milik Australopithecus. Satu-satunya alasan mengapa jejak-jejak ini dianggap berasal darinya adalah karena berada pada lapisan vulkanik berumur 3,6 juta tahun. Jejak itu dianggap milik Australopithecus dengan asumsi bahwa manusia tidak mungkin ada pada zaman setua itu.
Tafsiran-tafsiran atas jejak Laetoli menunjukkan kepada kita suatu kenyataan yang sangat penting. Evolusionis mendukung teorinya tidak dengan menimbang temuan-temuan ilmiah, malah justru mengabaikannya. Di sini kita mendapati sebuah teori yang dibela membabi-buta, dan semua temuan yang meragukan teori itu diabaikan atau dipelintir demi mendukung teori. Singkatnya, teori evolusi bukan ilmu pengetahuan, tetapi dogma yang dijaga tetap hidup dengan mengabaikan ilmu pengetahuan.

Rahang Manusia Berumur 2,3 Juta Tahun
Contoh lain yang menunjukkan ketak-sahihan silsilah yang dikarang oleh para evolusionis: rahang manusia modern (Homo sapiens) berumur 2,3 juta tahun. Rahang yang diberi kode AL 666-1 ini digali di Hadar, Ethiopia. Terbitan-terbitan evolusionis mencoba mengurangi maknanya dengan merujuknya sebagai “temuan yang sangat mengejutkan.” (D. Johanson, BlakeEdgar, From Lucy to Language, h. 169)

sumber : dari berbagai sumber

Penemuan penemuan penting peradaban manusia jutaan tahun lalu


pondok berumur 1,7 juta tahun mengagetkan masyarakat ilmiah. Pondok ini tampak seperti pondok-pondok sebagian orang Afrika masa kini.Telah banyak temuan yang menunjukkan bahwa usia Homo sapiens bahkan lebih awal dari 800 ribu tahun. Satu di antaranya adalah temuan Louis Leakey di awal tahun 1970-an di Celah Olduvai. Di tempat ini, di lapisan Bed II, Leakey menemukan bahwa spesies Australopithecus, Homo habilis dan Homo erectus hidup pada masa yang sama. Bahkan yang lebih menarik lagi adalah sebuah bangunan yang juga ditemukan Leakey di lapisan yang sama. Di sini, Leakey menemukan sisa-sisa pondok batu. Segi tidak biasa dari peristiwa ini adalah bahwa bangunan ini, yang masih dipakai di sejumlah daerah di Afrika, hanya dapat dibangun oleh Homo sapiens! Jadi, menurut temuan Leakey, Australopithecus, Homo habilis, Homo erectus dan manusia modern tentu hidup pada masa yang sama sekitar 1,7 juta tahun silam. Temuan ini dengan telak menggugurkan teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia modern berevolusi dari spesies mirip kera seperti Australopithecus. karena nyatanya mereka hidupa jaman yang sama.

sumber : dari berbagi sumber

Lubang Hitam Mungkin Lebih Langka


Bintang neutron ternyata lebih masif dari yang diyakini sebelumnya, dan juga lebih sukar untuk membentuk lubang hitam. Demikian menurut hasil penelitian terbaru yang dikembangkan di Observatorium Arecibo di Puerto Rico. Paulo Freire, astronom dari observatorium tersebut telah mempresentasikan penelitiannya pada pertemuan American Astronomical Society di Austin, 11 Januari lalu.

Para astronom di Arecibo telah memperbesar limit masa yang diperlukan oleh bintang neutron untuk menjelma menjadi lubang hitam.

“Materi di pusat suatu bintang neutron dapat sedemikian padat. Pengukuran terkini kami terhadap massa bintang-bintang neutron akan membantu para ahli fisika nuklir untuk memahami sifat-sifat materi yang sangat padat,” jelas Freire. “Ini juga berarti bahwa untuk membentuk lubang hitam, diperlukan massa yang lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian, di alam semesta, lubang hitam mungkin lebih jarang ditemui, dan bintang neutron sedikit lebih melimpah.”

Saat inti sebuah bintang masif kehabisan bahan bakar nuklirnya, gravitasinya yang sangat besar menyebabkan bintang tersebut runtuh dan kemudian menjelma menjadi sebuah supernova. Inti bintang, biasanya bermassa sekitar 1,4 kali massa Matahari, terpadatkan dalam suatu bintang neutron. Objek yang ekstrem ini memiliki radius sekitar 10 hingga 17 kilometer, namun dengan kepadatan hingga semiliar ton per centimeter kubik. Menurut Freire, bintang neutron tak ubahnya seperti sebuah inti atom tunggal berukuran raksasa dengan massa sekitar 560.000 kali massa Bumi kita.

Menurut perkiraan para astronom sebelumnya, sebuah bintang neutron membutuhkan massa maksimum antara 1,6 hingga 2,5 kali massa Matahari agar dapat runtuh dan membentuk lubang hitam. Namun demikian, penelitian terkini menunjukkan bahwa bintang neutron dapat tetap dalam bentuknya pada massa 1,9 hingga tidak mustahil mencapai 2,7 kali massa Matahari.

“Materi pada pusat bintang neutron adalah yang terpadat di alam semesta, dan merupakan salah satu dari dua orde magnitude yang lebih padat ketimbang materi dalam inti atom. Sedemikian padatnya sehingga kita tidak mengetahui materi yang menyusunnya,” terang Fraire. “Karena alasan itu, kami saat ini masih belum memiliki bayangan tentang seberapa besar atau seberapa masif sebuah bintang neutron dapat membentuk.

Antara bulan Juni 2001 hingga Maret 2007, Freire menggunakan receiver “L-wide” (sensitif terhadap frekuensi radio antara 1100 hingga 1700 MHz) di Arecibo beserta perangkat Wide-Band Arecibo Pulsar Processors — spektrometer supercepat pada teleskop Arecibo — untuk mempelajari pulsar biner (berpasangan) yang disebut M5 B, di kluster globular M5 yang terletak di konstelasi Serpens. Sebuah pulsar adalah bintang neutron dengan medan magnet yang kuat yang memancarkan radiasi elektromagnetik, biasanya dari kutub magnetisnya. Mirip seperti kita menyaksikan cahaya lampu mercusuar, pengamat dari jarak jauh akan menerima serangkaian denyutan, yang disebabkan oleh rotasi pulsar tersebut. Dalam kasus M5 B, denyutan gelombang radio diterima di Bumi sekali setiap 7,95 milidetik.

Denyutan gelombang radio ini dipindai (scan) oleh sebuah spektrometer pita-lebar sekali setiap 64 mikrodetik dalam 256 kanal spektral, dan kemudian direkam dalam media penyimpan komputer dengan informasi waktu yang akurat. Waktu kedatangan denyutan itu kemudian dipakai oleh para astronom untuk mengukur pergerakan orbit M5 B terhadap pasangannya secara akurat. Hal ini memungkinkan para astronom untuk memperkirakan massa pulsar tersebut, yakni sekitar 1,9 kali massa Matahari.

sumber : dari berbagai sumber

Saturday, October 23, 2010

Tiga Sahabat Gila [Part 1]

Cerita ini berawal pada saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada saat itu aku memang sudah sangat tergila-gila pada sesuatu yang berbau “HARRY POTTER”. Sampai pernah berkhayal jadi Harry. Sebelumnya aku tidak mengetahui bahwa kedua sahabatku ini juga menyukai “HARRY POTTER”. Mereka adalah ‘Indah purnama dewi’ yang akrab disapa Dewi, dan ‘Moh. Riski A’ yang akrab disapa Iki. Saat itu kami belum mengenal satu sama lainnya. Karena kami bertiga bersekolah di sekolah yang berbeda.
Pada waktu itu diadakan Olimpiade MIPA antar sekolah. Aku ditunjuk sebagai perwakilan sekolahku, begitu juga mereka berdua. Saat itulah kami bertiga bertemu. Tetapi belum juga sempat bertegur sapa. Karena mungkin waktu itu masing-masing memegang prinsip “Berbeda Sekolah Berarti Bermusuhan”.
Singkat cerita, kami bertiga sudah tamat dari Sekolah Dasar. Aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMP Al-Azhar, tetapi sayangnya hasil tesnya kurang memuaskan. Aku tidak lulus pada saat itu. Dengan terpaksa aku mendaftar di SMPN 16, tak disangka ternyata hasil tesnya menyatakan aku lulus dan mendapat peringkat satu. Pada saat Masa Orientasi Siswa, aku bertemu lagi dengan mereka berdua. Tetapi belum juga saling bertegur sapa, mungkin masih memegang prinsip tadi.
Setelah tiga hari melaksanakan MOS, tibalah saat pembagian kelas. Saat itu aku di tempatkan di kelas VII B, dan mereka berdua di kelas VII A. Hari demi hari berlalu saat kami bertiga telah duduk di bangku SMP, aku mulai akrab dengan Iki, dimana semua orang tahu dia mahir dalam Matematika. Tetapi saat itu, aku belum mengetahui bahwa dia juga menyukai “Harry Potter”. Lama berselang dari itu semester satu telah usai, dimana seharusnya pembagian rapor sudah dilaksanakan. Aku mendapatkan peringkat dua, Dewi mendapat peringkat empat, sedangkan Iki mendapatkan peringkat satu.
Seminggu kemudian setelah libur sekolah telah usai, pada pagi hari aku pergi ke sekolah seperti biasa. Sebelum memasuki gerbang sekolah yang biasa-biasa saja, seluruh siswa diwajibkan memungut sampah terlebih dahulu. Pada saat itu aku berpapasan dengan dewi, aku merasa ada yang aneh pada tatapannya. Ya, dia menatapku dengan sinis pada waktu itu. Di benakku “apa sebenarnya yang telah terjadi?” (waulahhualam).
Aku terus saja memikirkan hal itu dari apel sampai usai. Entah mengapa aku lagi-lagi merasa ada yang aneh. Tetapi kali ini pada perasaanku. Mungkinkah aku suka padanya? Mungkin saja. (bersambung).

Film Harry Potter and the Deathly Hallows: Part I Terbaru 2010


Serial film Harry Potter ke 7, berdasarkan buku ketujuh dan terakhir dalam seri Harry Potter novel karya JK Rowling. Film Harry Potter and the Deathly Hallows yang dimulai pada bulan Februari 2009 dan berlangsung selama satu tahun. David Yates, yang memimpin dua film sebelumnya, memimpin kedua bagian.

Film terbaru 2010 ini akan terbelah jadi dua bagian, Bagian 1 akan dirilis pada bulan November 2010, dan Bagian 2 pada bulan Juli 2011. Film akan ditembak kembali ke belakang dan diperlakukan seolah-olah satu film.

Sinopsis Film Harry Potter and the Deathly Hallows: Part I 2010 :

Bab terakhir dari seri film Harry Potter dimulai ketika Harry, Ron dan Hermione meninggalkan Hogwarts di belakang dan berangkat untuk menemukan dan menghancurkan Horcruxes – rahasia kekuatan Voldemort dan keabadian.

Dibintangi:
- Daniel Radcliffe
- Emma Watson
- Rupert Grint
- Helena Bonham Carter
- Brendan Gleeson
Sutradara : David Yates
Produksi : Warner Bros Pictures
Genre: Action, Adventure, Fantasy Sekuel Keluarga Anak-Anak
Tayang dibioskop: November 2010

Bagi anda penggemar serial film Harry Potter, liat video triler Film Harry Potter and the Deathly Hallows: Part I 2010 dsini dan nantikan eposede terbaru dari serial Film Harry Potter and the Deathly Hallows: Part I terbaru 2010 akhir tahun ini dibioskop Indonesia.



sumber : wikipedia

Tentang Penciptaan Harry Potter

Ide tentang Harry Potter pertama kali tercetus dalam pikiran J. K. Rowling ketika menaiki kereta api dari Manchester ke London pada tahun 1990. Pada waktu itu, dia baru saja bercerai dan mengambil inisiatif untuk menjadikan Harry Potter sebagai inspirasi hidupnya. Dia menghabiskan waktu di dalam perjalanannya itu dengan memikirkan plot yang lengkap tentang ceritanya itu. Di situs webnya, Rowling menceritakan pengalamannya itu:

Saya telah menulis hampir tanpa jeda sejak umur enam tapi sebelumnya saya tidak pernah merasa begitu bergairah akan suatu gagasan. Saya hanya duduk dan berpikir, selama empat jam (menunggu keterlambatan kereta api), dan semua detel bermunculan di otak saya, dan anak laki-laki ceking berambut hitam dan berkaca mata yang tidak menyadari bahwa ia adalah seorang penyihir menjadi semakin lama semakin nyata bagi saya.

Pada tahun 1995, buku pertama berjudul Harry Potter and Philosopher's Stone (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Harry Potter dan Batu Bertuah) selesai dibuat dan naskahnya dikirimkan ke beberapa agen. Agen kedua yang dicobanya, Christopher Little, menawari untuk mewakilinya dan mengirimkan naskah itu ke Bloomsbury. Setelah delapan penerbit lainnya menolak Philosopher's Stone, Bloomsbury menawarkan uang muka £3.000 untuk menerbitkannya.[5]

Walaupun Rowling menyatakan bahwa ia tidak memiliki target khusus mengenai umur pembacanya ketika ia mulai menulis buku-buku Harry Potter, penerbitnya pada permulaannya telah menetapkan target pembacanya antara umur sembilan hingga sebelas.[6] Pada malam sebelum penerbitan, Joanne Rowling diminta oleh penerbitnya untuk menggunakan nama samaran yang lebih netral-jender, supaya dapat menarik anak laki-laki dalam jangkauan umur tersebut, karena mereka khawatir bahwa anak laki-laki tidak akan tertarik membaca novel yang mereka ketahui ditulis oleh seorang wanita. Ia memilih untuk menggunakan nama J. K. Rowling (Joanne Kathleen Rowling), mengambil nama neneknya sebagai nama keduanya, karena ia tidak memiliki nama tengah.[7]

Buku pertama Harry Potter diterbitkan di Britania Raya oleh Bloomsbury pada Juli 1997. Di Amerika Serikat buku ini diterbitkan oleh Scholastic pada September 1998, di mana Rowling menerima $105.000 untuk hak penerbitan Amerika Serikat — sebuah nilai yang tidak biasa bagi sebuah buku anak-anak yang dikarang oleh pengarang yang tidak dikenal (pada saat itu).[8] Khawatir bahwa para pembaca di Amerika tidak mengerti kata "philosoper" atau tidak menganggapnya sebagai tema magis (karena "Philosoper's Stone" atau batu filsuf adalah kata dalam bidang alkimia), Scholastic bersikeras untuk mengganti nama buku itu menjadi Harry Potter and the Sorcerer's Stone untuk pasar Amerika.

Selama hampir satu dasawarsa, Harry Potter telah mengalami kesuksesan besar, tidak hanya karena resensi yang positif dan strategi pemasaran penerbit Rowling, tetapi juga karena pembicaraan dari mulut ke mulut di antara para penggemarnya, terutama di antara para remaja laki-laki. Kalangan remaja laki-laki ini menjadi penting, karena selama bertahun-tahun kalangan ini semakin tidak tertarik dengan bacaan yang dianggap ketinggalan zaman ketimbang video game dan internet. Penerbit Rowling berhasil menangkap kegairahan di kalangan remaja laki-laki ini dan segera merilis keempat buku pertama berturut-turut secara cepat, sehingga kegairahan mereka tidak sempat meredup ketika Rowling bermaksud untuk istirahat menulis di antara rilis Harry Potter dan Piala Api dan Harry Potter dan Orde Phoenix, dan dengan segera terbentuklah grup pembaca yang loyal.[9] Seri ini juga mendapatkan para penggemar dewasa, dengan diterbitkannya dua edisi untuk setiap buku Harry Potter (di Kanada dan Britania Raya, tapi tidak di Amerika Serikat). Keduanya memiliki naskah yang sama persis, tetapi dengan sampul yang berbeda, untuk masing-masing edisi anak-anak dan dewasa.



sumber : wikipedia

HARRY POTTER


Harry Potter merupakan salah satu seri novel fantasi karya J. K. Rowling dari Inggris mengenai seorang anak laki-laki bernama Harry Potter. Sejak rilis pertama novel ini, Harry Potter dan Batu Bertuah pada tahun 1997 di Inggris, buku ini telah mendapatkan ketenaran dan kesuksesan secara komersial di seluruh dunia, diangkat menjadi film, video game, dan beragam merchandise.

Latar belakang kisah ini kebanyakan berada di Sekolah Sihir Hogwarts dan berpusat pada pertarungan Harry Potter melawan penyihir jahat Lord Voldemort, yang menggunakan Ilmu Hitam untuk membunuh orang tua Harry.

Kesemua tujuh buku yang direncanakan Rowling dalam seri novel ini telah diterbitkan. Buku keenam, Harry Potter dan Pangeran Berdarah-Campuran versi asli bahasa Inggris diterbitkan pada 16 Juli 2005, sementara buku ketujuh, Harry Potter dan Relikui Kematian diluncurkan di seluruh dunia pada 21 Juli 2007 (versi terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan pada tanggal 13 Januari 2008). Enam buku pertama dalam seri novel ini secara keseluruhan telah terjual lebih dari 325 juta kopi, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 63 bahasa.[1][2]

Atas kesuksesan novel-novelnya ini, Rowling telah menjadi penulis terkaya sepanjang sejarah kesusasteraan.[3] Versi-versi asli dalam bahasa Inggris diterbitkan oleh penerbit Bloomsbury di Inggris Raya, Scholastic Press di Amerika Serikat, Allen & Unwin di Australia, dan Raincoast Books di Kanada. Versi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Lima buku pertama telah diangkat menjadi film layar lebar oleh Warner Bros. dan mendulang kesuksesan besar. Film kelima, Harry Potter and the Order of the Phoenix, mulai diambil gambarnya pada Februari 2006, dan dirilis pada 11 Juli 2007 di Amerika Serikat. Film keenam, Harry Potter and Half Blood Prince, dirilis pada 15 Juli 2009.[4]



sumber : wikipedia