Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

Showing posts with label Astronomi. Show all posts
Showing posts with label Astronomi. Show all posts

Wednesday, January 18, 2012

Gerhana Bulan Total 10 Desember 2011

Walaupun tidak bisa melihat GBT pada 10 Desember 2011 lalu secara langsung (berawan), tapi syukurlah bisa melihat GBT dari awal sampai selesai. Ini aku punya beberapa foto yang langsung diambil dari Stellarium.






gambar di atas adalah proses dari awal mula gerhana sampai terjadi GBT





gambar di atas adalah proses berakhirnya GBT

Monday, November 8, 2010

Planet Extrasolar Termuda


Sekelompok astronom dari Max Planck Institute for Astronomy (MPIA) di Heidelberg, Jerman, dibawah pimpinan astronom asal Indonesia, Johny Setiawan, berhasil menemukan sistem yang diyakini merupakan planet ekstrasolar (eksoplanet) termuda yang pernah dikenal. Sistem yang baru ditemukan tersebut mengitari bintang muda yang masih dikelilingi oleh piringan gas dan debu yang baru saja membentuk dirinya.
Penemuan tersebut dicapai dengan memanfaatkan metode variasi kecepatan radial. Metode ini mendeteksi perubahan kecepatan gaya gravitasi dari eksoplanet (yang tak terlihat) saat ia mengorbit bintang induknya. Tim astronom dari MPIA telah memonitor variasi kecepatan radial dari sekitar 200 bintang dalam pencarian sistem ekstrasolar. Salah satu diantaranya adalah bintang TW Hydrae, yang berusia 8 – 10 juta tahun (sekitar 1/500 umur Matahari). Sama seperti bintang yang masih muda, TW Hydrae juga masih dikelilingi piringan debu dan gas antar bintang, yang diyakini sebagai tempat lahirnya planet-planet.
Tim ini berhasil menemukan planet yang mengorbit bintang TW Hydrae di bagian dalam piringan tersebut. Menurut Johnny, planet tersebut ditemukan saat mereka memantau kecepatan radial TW Hydrae. Saat itu mereka mendeteksi adanya variasi periodik yang bukan ditimbulkan oleh aktivitas bintang, namun mengarah pada keberadaan planet. Deteksi dilakukan dengan menggunakan spektograf FEROS pada teleskop 2,2 meter milik Max-Planck Institute dan ESO di La Silla, Chille.
Planet yang baru ditemukan tersebut cukup masif dengan massa sekitar 10 kali massa Jupiter, dan mengelilingi bintang induknya hanya dalam waktu 3,56 hari pada jarak 6 juta km, atau sekitar 4% dari jarak Bumi-Matahari.
Ralf Launhardt, seorang anggota tim yang juga adalah koordinator program penelitian eksoplanet di sekeliling bintang-bintang muda menjelaskan bahwa mereka telah menginvestigasi seluruh aktivitas yang mengindikasikan keberadaan TW Hydrae b. Namun karakteristik planet baru tersebut sangat berbeda dari perputaran gas di lingkaran utama bintang baru itu. Mereka lebih stabil dan memiliki periode yang pendek
Jika didasarkan pada studi statistik, masa hidup piringan antar bintang rata-rata sekitar 10 – 30 juta tahun. Ini menunjukan, kalau waktu maksimum yang tersedia untuk terbentuknya planet di dalam piringan hanya sampai 30 juta tahun. Dengan demikian TW Hydra b, planet gas yang 10 kali lebih masif dari jupiter tersebut, terbentuk dalam waktu yang sangat singkat, hanya pada kisaran 8 – 10 juta tahun.
Teori yang diyakini selama ini menyatakan bahwa planet-planet terbentuk dari gas dan debu dalam sebuah cakram yang berputar pendek setelah kelahiran sebuah bintang. Namun proses pembentukannya sendiri masih belum sepenuhnya dipahami oleh para astronom. Penemuan TW Hydrae b akan memberi informasi penting dalam hal waktu pembentukan planet, dan memberikan kunci penting dalam memahami bagaimana dan dimana planet terbentuk.
“Ini merupakan penemuan paling luar biasa dan spektakuler dalam studi planet-planet ekstrasolar. Untuk pertama kali, kita telah menemukan langsung bahwa planet-planet terbentuk dalam lingkaran cakram. Penemuan TW Hydrae b membuka jalan untuk mengaitkan evaluasi lingkaran cakram dengan proses pembentukan dan migrasi planet,” demikian diungkapkan Thomas Henning, direktur Planet and Star Formation Department di MPIA.
Para peneliti di MPIA saat ini juga tengah mengembangkan instrumen generasi baru untuk mendeteksi planet ekstrasolar dengan teknik lainnya, seperti direct imaging, pengukuran gerak refleks yang sangat halus dari bintang pada bidang langit (astrometri), maupun untuk transit fotometri. Diharapkan di masa depan intrumen ini dapat mendeteksi planet-planet yang tidak dapat terdeteksi oleh metode kecepatan radial.
Penemuan ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Nature terbitan 2 Januari 2008 lalu dalam makalah berjudul “A Young Massive Planet in A Star-Disk System” oleh Johny Setiawan dkk. (www.mpia.de)

sumber : http://ias.dhani.org/2008/01/08/planet-ekstrasolar-termuda/

Sunday, October 31, 2010

Ledakan Sinar Gamma Terbesar


Teleskop antariksa sinar Gamma Fermi (Fermi Gamma-ray Space Telescope) baru-baru ini telah mendeteksi ledakan sinar gamma pertama dalam resolusi tinggi. Ledakan tersebut memiliki total energi terbesar, pergerakan tercepat, dan pelepasan energi tertinggi yang pernah terlihat. Ledakan yang dirujuk sebagai GRB 080916C tersebut, terjadi pada pukul 19:13 EDT (15:13 GMT/22:13 WIB) tanggal 14 September 2008 di konstelasi Carina.
Perangkat Large Area Telescope beserta Gamma Ray Burst Monitor pada teleskop Fermi secara simultan merekam peristiwa tersebut. Kedua instrumen tersebut menyediakan pandangan dari tahap awal ledakan, dikenal sebagai “prompt”, berupa pancaran sinar gamma dengan energi antara 3.000 hingga lebih dari 5 milyar kali dari yang dipancarkan dalam gelombang cahaya kasatmata.
Ledakan sinar gamma sendiri merupakan ledakan yang paling cemerlang di alam semesta. Para astronom meyakini bahwa kebanyakan ledakan semacam ini terjadi apabila sebuah bintang masif yang eksotik kehabisan bahan bakar nuklirnya. Saat inti bintang runtuh dalam bentuk lubang hitam, semburan material – yang disulut oleh proses yang belum sepenuhnya diketahui – terlepas ke antariksa dengan kelajuan mendekati kecepatan cahaya. Semburan tersebut memancar dari bintang yang sedang runtuh, dan berinteraksi dengan gas yang sebelumnya mengalir dari bintang dan menghasilkan kilatan cahaya terang yang kemudian perlahan memudar seiring berlalunya waktu.
Hampir 32 jam setelah ledakan, Jochen Greiner dari Max Planck Institute for Extraterrestrial Physics di Garching, Jerman, memimpin sekelompok ilmuwan untuk mencari pendar cahaya sisa ledakan. Kelompok tersebut mengambil citra dalam tujuh panjang gelombang secara simultan menggunakan perangkat Gamma-Ray Burst Optical/Near-Infrared Detector (GROND) yang terpasang pada teleskop 2,2 meter di European Southern Observatory di La Silla, Chile.
Dalam warna-warni tertentu, kecerlangan dari objek jauh menunjukkan karakteristik memudar secara cepat (drop-off) yang diakibatkan oleh keberadaan kabut gas. Makin jauh suatu objek, panjang gelombang cahaya yang memudar tersebut makin bergeser ke warna merah. Hal ini memberikan petunjuk kepada para astronom untuk memperkirakan jarak objek tersebut. Observasi lanjutan akhirnya menunjukkan bahwa ledakan tersebut terjadi pada suatu tempat bejarak 12,2 miliar tahun cahaya dari Bumi.
Dengan berpatokan pada jarak itu, tim Fermi menunjukkan bahwa besarnya ledakan tersebut melampaui sekitar 9.000 kali besar ledakan supernova biasa, apabila energinya dipancarkan sama rata ke segala arah. Ini adalah cara standar bagi para astronom untuk membandingkan skala suatu peristiwa astronomis, walaupun kenyataannya ledakan sinar gamma memancarkan sebagian besar energinya dalam semburan yang sempit. Bersama dengan pengukuran dengan teleskop Fermi, besaran jarak ini juga membantu para astronom untuk menentukan kecepatan terendah yang mungkin untuk pelepasan material pada “prompt” sinar gamma. Dalam semburan ledakan tersebut, gas mestilah terlontar pada kecepatan 99.9999 persen dari kecepatan cahaya. Besarnya kekuatan dan kecepatan ledakan ini adalah yang paling ekstrim yang pernah tercatat hingga kini.
Salah satu aspek yang menarik dari ledakan ini ialah adanya selang waktu (delay) selama 5 detik antara pelepasan energi tertinggi dengan yang terendah. Hal semacam ini juga pernah teramati secara jelas dalam satu ledakan lainnya. Seperti dijelaskan oleh Peter Michelson, peneliti utama (principal investigator) pada Fermi Large Area Telescope, hal ini mungkin berarti bahwa pancaran energi tertinggi berasal dari bagian semburan yang berbeda, atau tercipta melalui mekanisme yang berbeda.
Makalah yang memuat hasil pengamatan ini telah diterbitkan pada 19 Februari 2009 melalui edisi online dari jurnal ilmiah Nature. (www.nasa.gov)

Menyingkap Rahasia Atmosfer Pluto


Pluto, yang yang berukuran sekitar seperlima ukuran Bumi, sebagian besarnya tersusun atas batuan dan es. Terletak sejauh 40 kali rata-rata jarak Bumi ke Matahari, Pluto adalah dunia yang sangat dingin dengan suhu permukaan mencapai -220 derajat Celcius.

Sejak dekade 1980-an telah diketahui bahwa Pluto memiliki atmosfer yang tipis yang didominasi oleh nitrogen dengan jejak metana dan kemungkinan karbon dioksida. Tekanan atmosfernya hanya sekitar seperseratus ribu tekanan atmosfer Bumi, atau sekitar 0.015 milibar.

Sampai baru-baru ini, hanya lapisan atas dari Atmosfer Pluto yang dapat dipelajari. Dengan mengamati okultasi bintang (ESO 21/22), fenomena yang terjadi apabila suatu anggota tata surya menghalangi cahaya sebuah bintang di latar belakang, para astronom berhasil menunjukkan bahwa lapisan atas dari atmosfer dari Pluto adalah berkisar -170 derajat Celcius, atau sekitar 50 derajat lebih hangat daripada suhu di permukaannya. Observasi ini dapat memberikan petunjuk mengenai temperatur dan tekanan atmosferik di dekat permukaan Pluto.

Namun uniknya, observasi terkini menggunakan perangkat CRyogenic InfraRed Echelle Spectrograph (CRIRES) yang terpasang pada Very Large Telescope milik European Space Observatory (ESO) kini telah mengungkapkan bahwa atmosfer Pluto secara keseluruhan, bukan hanya di lapisan atasnya, memiliki suhu rata-rata sekitar -180 derajat Celcius, dan dengan demikian “jauh lebih panas” daripada suhu permukaannya.

Berkebalikan dengan atmosfer Bumi, di Pluto temperatur justeru meningkat seiring bertambahnya ketinggian. Perubahan suhunya berkisar 3 hingga 15 derajat per kilometer. Di Bumi, dalam kondisi normal, temperatur berkurang sekitar 6 derajat setiap kilometer ketinggian.

Alasan mengapa permukaan Pluto sedemikian dingin berhubungan dengan eksistensi atmosfer Pluto, yakni karena terjadinya sublimasi es di permukaan; analog dengan keringat yang mendinginkan tubuh saat menguap dari permukaan kulit kita, sublimasi ini memiliki efek pendinginan pada permukaan Pluto. Dari segi ini, Pluto memiliki sifat yang sama dengan komet, dimana bagian coma dan ekornya juga terbentuk dari es yang menyublim saat komet mendekati Matahari.

Observasi menggunakan CRIRES juga mengindikasikan bahwa metana adalah gas paling berlimpah nomor dua di atmosfer Pluto, merepresentasikan setengah persen dari molekul-molekul yang ada. “Kami berhasil menunjukkan bahwa jumlah sebesar itu memainkan peranan penting dalam proses pemanasan di atmosfer dan dapat menjelaskan peningkatan suhu atmosferik,” jelas Emmanuel Lellouch, penulis utama makalah yang melaporkan penemuan ini.

“Menarik untuk dipikirkan bahwa dengan CRIRES kami dapat mengukur secara presisi jejak suatu gas dalam atmosfer 100.000 kali lebih tipis daripada di Bumi, pada objek yang lima kali lebih kecil dari planet kita dan terletak di tepi tata surya,” ungkap co-author, Hans-Ulrich Käufl. “Kombinasi CRIRES dan VLT adalah seperti memiliki satelit penelitian atmosfer yang mengorbit Pluto.”

Dua model yang berbeda dapat menjelaskan properti atmosfer Pluto. Dalam model pertama, para astronom mengasumsikan bahwa permukaan Pluto dilingkupi oleh lapisan tipis metana, yang menempati sublimasi bekuan nitrogen. Skenario kedua melibatkan keberadaan metana murni di permukaan Pluto.

Menentukan mana yang paling tepat diantara keduanya akan membutuhkan studi yang lebih intensif saat Pluto bergerak menjauh dari Matahari. “Dan tentu saja, wahana antariksa New Horizon milik NASA akan menyediakan lebih banyak petunjuk saat mencapai planet kerdil itu pada 2015 nanti,” tukas Lellouch.

Penemuan ini telah dilaporkan dalam jurnal Astronomy and Astrophysics pada Februari lalu dalam makalah berjudul Pluto’s lower atmosphere structure and methane abundance from high-resolution spectroscopy and stellar occultations oleh E. Lellouch et al. (www.eso.org)

Cakram Debu di 51 Ophiuchi

Menggunakan teleskop kembar berdiameter 10 meter di Observatorium W.M. Keck, Hawaii, para astronom telah menemukan salah satu dari cakram debu paling kompak yang mengedari sebuah bintang. Apabila berada di dalam tata surya kita, maka cakram itu akan membentang sekitar empat kali jarak Bumi ke Matahari, hingga mendekati orbit planet Jupiter. Cakram bagian dalam yang kompak tersebut juga ditemani oleh cakram luar yang terentang hingga ratusan kali lebih jauh.

Kunci keberhasilan studi ini adalah Keck Interferometer Nuller (KIN), suatu perangkat yang mengkombinasikan cahaya yang tertangkap oleh masing-masing teleskop raksasa tersebut, sedemikian rupa sehingga memungkinkan para peneliti mempelajari objek redup yang biasanya tenggelam oleh cemerlangnya cahaya bintang di dekatnya. “Ini adalah cakram kompak pertama yang dideteksi oleh KIN, dan menunjukkan kemampuannya untuk mendeteksi kabut debu yang ratusan kali lebih kecil daripada yang bisa dilihat oleh teleskop konvensional,” jelas Christopher Stark, astronom di Goddard Space Flight Center, NASA, di Greenbelt, Madison, yang memimpin tim peneliti.

Dengan menggabungkan pancaran cahaya yang diterima oleh kedua teleskop dengan cara tertentu, KIN pada dasarnya membuat suatu “blind spot” yang menghalangi pancaran cahaya bintang yang tak diperlukan namun memungkinkan sinyal redup yang berdekatan – seperti cahaya dari cakram debu yang melingkupi bintang – untuk menembusnya.

Pada bulan April 2007, tim yang sama mengamati bintang target, 51 Ophiuchi, bintang tipe B yang muda dan panas sejauh 410 tahun cahya di konstelasi Ophiuchus. Para astronom menduga bahwa bintang tersebut beserta cakram yang melingkupinya merepresentasikan contoh yang langka dan dekat dari sistem planeter muda yang sedang memasuki fase terakhir dari pembentukan planet-planetnya, walaupun masih belum diketajio apakah planet-planet tersebut benar-benar telah membentuk.

“Observasi terkini kami menunjukkan bahwa 51 Ophiuchi adalah sistem protoplanet (calon planet) yang indah dengan suatu kabut debut dari komet dan asteroid yang sangat dekat dengan bintang induknya,” timpal Marc Kuchner, astronom di Goddard yang juga anggota dari tim peneliti.

Sistem planeter adalah tempat yang sangat berdebu. Kebanyakan diantara debu di tata surya kita terbentuk didalam garis orbit Jupiter, saat komet-komet mengalami kehancuran di dekat Matahari dan asteroid dalam berbagai ukuran saling berbenturan. Kabut ini merefleksikan cahaya matahari dan sewaktu-waktu dapat dilihat sebagai pendar cahaya di langit – dikenal sebagai cahaya zodiak (zodiacal light) – sebelum matahari terbit atau terbenam.

Kabut debu di sekeliling bintang lain yang terbentuk melalui proses yang sama disebut sebagai kabut “exozodiacal”. “Studi kami menunjukkan bahwa cakram di 51 Ophiuchi lebih dari 100.000 kali lebih tebal daripada kabut zodiak di tata surya kita,” jelas Stark. “Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini masih relatif muda, dengan banyak benda angkasa yang saling berbenturan yang menghasilkan sejumlah besar debu.”

Untuk menguraikan struktur dari kabut debu bintang tersebut, tim peneliti mengkombinasikan hasil observasi KIN pada berbagai panjang gelombang dengan studi sebelumnya yang memanfaatkan Teleskop Antariksa Spitzer dan perangkat Very Large Telescope Interferometer di European Southern Observatory di Chile.

Cakram bagian luar mulai membentuk pada sekitar dimana cakram bagian dalam berakhir dan mencapai jarak sekitar 1.200 AU. Penanda inframerahnya menunjukkan bahwa cakram tersebut terutama tersusun atas partikel debu dengan volume hanya 1 persen dari ukuran debu yang sama di cakram bagian dalam, atau setara dengan partikel pada asap. Perbedaan lainnya: cakram bagian luar terlihat lebih menyebar, hingga jauh keluar dari bidang orbitnya ketimbang cakram bagian dalam.

“Kami menduga bahwa cakram bagian dalam mendorong pengembangan cakram bagian luar,” jelas Kuchner. Saat asteroid dan komet saling berbenturan hingga menghasilkan debu, partikel yang lebih besar secara alami berpilin ke arah bintang. Namun tekanan dari cahaya bintang menekan partikel-partikel yang lebih kecil keluar dari sistem. Proses ini, yang juga terjadi di tata surya kita, nampaknya bekerja lebih baik di sekitar 51 Ophiuchi, bintang yang 260 kali lebih cemerlang daripada Matahari.

Penemuan ini telah dipublikasikan melalui Astrophysical Journal edisi 1 Oktober lalu. (www.nasa.gov/goddard)

Untaian Mutiara Kosmik


Teleskop antariksa Herschel baru-baru ini telah menyajikan pemandangan spektakular dari kabut gas yang terbentang di dekat bidang galaksi Bima Sakti. Citra yang diambil mengungkapkan adanya aktifitas yang intens dan tak terduga. Daerah yang gelap dan dingin dengan titik-titik tempat bintang dilahirkan ibarat untaian mutiara kosmik.
Pada 3 September lalu, Herschel diarahkan ke suatu reservoir kabut gas dingin di konstelasi Salib Selatan (Southern Cross) di dekat bidang galaksi. Saat teleskop tersebut memindai langit, perangkat Spectral and Photometric Imaging REceiver, SPIRE, dan Photoconductor Array Camera and Spectrometer, PACS mengambil sejumlah citra dari daerah yang terletak di sekitar 60° dari pusat galaksi, ribuan tahun cahaya dari bumi.
Lima panjang gelombang inframerah telah dikodekan dalam bentuk warna-warni untuk memungkinkan para ilmuwan membedakan material yang sangat dingin (merah) dengan lingkungan sekitarnya yang sedikit lebih hangat (biru).
Citra ini mengungkap struktur pada material di Galaksi kita, dalam bentuk yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Bahkan sebelum ada analisis yang lebih rinci, para ilmuwan telah mengumpulkan informasi mengenai kuantitas material, massa, temperatur, komposisi, dan apakah struktur tersebut sedang runtuh untuk membentuk bintang-bintang baru.
Bahwa area yang gelap dan dingin semacam ini ternyata penuh dengan aktifitas adalah hal yang tak terduga. Namun citra-citra itu juga mengungkapkan adanya gejolak yang mengejutkan: material antarbintang berkondensasi menjadi filamen yang memalar (continous) dan saling terhubung yang berpendar dari cahaya yang dipancarkan oleh bintang-bintang yang baru lahir pada berbagai tingkat perkembangan. Galaksi kita adalah galaksi yang secara konstan melahirkan bintang-bintang generasi baru.
Bintang-bintang terbentuk dari lingkungan yang digin dan padat, dan dalam citra-citra tersebut, mudah untuk menemukan tempat dimana terdapat filamen bintang yang tengah membentuk, suatu pekerjaan yang sangat sulit untuk dilakukan pada citra dengan panjang gelombang tunggal.
Biasanya, dalam daerah yang penuh sesak semacam ini, terletak di bidang galaksi kita dan mengandung banyak kabut molekular sejauh mata memandang, para astronom akan mengalami kesulitan untuk melihat secara lebih detail. Namun instrumen inframerah Herschel yang canggih memudahkan pekerjaan itu, melihat kedalam kabut yang suram dalam cahaya kasatmata, dan menyaksikan pendar dari debu itu sendiri. Observasi ini tidak mungkin untuk dilakukan dengan peralatan yang berbasis di darat.
Hasilnya adalah pemandangan dari struktur jejaring filamen yang menakjubkan, dan fitur-fitur yang mengindikasikan rantai peristiwa formasi bintang yang hampir simultan, gemerlap laksana rangkaian mutiara, jauh di kedalaman galaksi kita. (www.esa.int)

Friday, October 29, 2010

Lubang Hitam Mungkin Lebih Langka


Bintang neutron ternyata lebih masif dari yang diyakini sebelumnya, dan juga lebih sukar untuk membentuk lubang hitam. Demikian menurut hasil penelitian terbaru yang dikembangkan di Observatorium Arecibo di Puerto Rico. Paulo Freire, astronom dari observatorium tersebut telah mempresentasikan penelitiannya pada pertemuan American Astronomical Society di Austin, 11 Januari lalu.

Para astronom di Arecibo telah memperbesar limit masa yang diperlukan oleh bintang neutron untuk menjelma menjadi lubang hitam.

“Materi di pusat suatu bintang neutron dapat sedemikian padat. Pengukuran terkini kami terhadap massa bintang-bintang neutron akan membantu para ahli fisika nuklir untuk memahami sifat-sifat materi yang sangat padat,” jelas Freire. “Ini juga berarti bahwa untuk membentuk lubang hitam, diperlukan massa yang lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian, di alam semesta, lubang hitam mungkin lebih jarang ditemui, dan bintang neutron sedikit lebih melimpah.”

Saat inti sebuah bintang masif kehabisan bahan bakar nuklirnya, gravitasinya yang sangat besar menyebabkan bintang tersebut runtuh dan kemudian menjelma menjadi sebuah supernova. Inti bintang, biasanya bermassa sekitar 1,4 kali massa Matahari, terpadatkan dalam suatu bintang neutron. Objek yang ekstrem ini memiliki radius sekitar 10 hingga 17 kilometer, namun dengan kepadatan hingga semiliar ton per centimeter kubik. Menurut Freire, bintang neutron tak ubahnya seperti sebuah inti atom tunggal berukuran raksasa dengan massa sekitar 560.000 kali massa Bumi kita.

Menurut perkiraan para astronom sebelumnya, sebuah bintang neutron membutuhkan massa maksimum antara 1,6 hingga 2,5 kali massa Matahari agar dapat runtuh dan membentuk lubang hitam. Namun demikian, penelitian terkini menunjukkan bahwa bintang neutron dapat tetap dalam bentuknya pada massa 1,9 hingga tidak mustahil mencapai 2,7 kali massa Matahari.

“Materi pada pusat bintang neutron adalah yang terpadat di alam semesta, dan merupakan salah satu dari dua orde magnitude yang lebih padat ketimbang materi dalam inti atom. Sedemikian padatnya sehingga kita tidak mengetahui materi yang menyusunnya,” terang Fraire. “Karena alasan itu, kami saat ini masih belum memiliki bayangan tentang seberapa besar atau seberapa masif sebuah bintang neutron dapat membentuk.

Antara bulan Juni 2001 hingga Maret 2007, Freire menggunakan receiver “L-wide” (sensitif terhadap frekuensi radio antara 1100 hingga 1700 MHz) di Arecibo beserta perangkat Wide-Band Arecibo Pulsar Processors — spektrometer supercepat pada teleskop Arecibo — untuk mempelajari pulsar biner (berpasangan) yang disebut M5 B, di kluster globular M5 yang terletak di konstelasi Serpens. Sebuah pulsar adalah bintang neutron dengan medan magnet yang kuat yang memancarkan radiasi elektromagnetik, biasanya dari kutub magnetisnya. Mirip seperti kita menyaksikan cahaya lampu mercusuar, pengamat dari jarak jauh akan menerima serangkaian denyutan, yang disebabkan oleh rotasi pulsar tersebut. Dalam kasus M5 B, denyutan gelombang radio diterima di Bumi sekali setiap 7,95 milidetik.

Denyutan gelombang radio ini dipindai (scan) oleh sebuah spektrometer pita-lebar sekali setiap 64 mikrodetik dalam 256 kanal spektral, dan kemudian direkam dalam media penyimpan komputer dengan informasi waktu yang akurat. Waktu kedatangan denyutan itu kemudian dipakai oleh para astronom untuk mengukur pergerakan orbit M5 B terhadap pasangannya secara akurat. Hal ini memungkinkan para astronom untuk memperkirakan massa pulsar tersebut, yakni sekitar 1,9 kali massa Matahari.

sumber : dari berbagai sumber